Kamis, 18 Juni 2015

Teori-Teori Dalam Belajar dan Macam-Macam Perwujudan Belajar

Teori-Teori Dalam Belajar dan Macam-Macam Perwujudan Belajar

A.    Teori-Teori  Dalam Belajar

Pendidikan adalah segala situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.[1] Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan menurut para ahli psikologi memaandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang belum dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosialnya dalam masyarakat.[2] Dengan demikian pendidikan itu adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga, masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah.
Teori adalah sebuah konsep-konsep yang  terpadu, menerangkan, dan memprediksi. [3] Dari beberapa tulisan yang membahas tentang perkembangan  teori belajar seperti ( A tkinson, dkk. 1997;[4] Gredler Margaret Bell, 1986)[5] memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokan dalam 4 kelompok atau aliran meliputi :
a)      Teori belajar behavioristik
b)      Teori belajar kognitif
c)      Teori belajar humanistik
d)     Teori belajar sibernetik
Keempat teori di atas mempunyai karakteristik yang berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan pada “hasil” dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada “proses” belajar. Aliran humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari. Aliran sibernetik menekankan  pada “sistem informasi” yang dipelajari.[6] Jadi teori belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Namun teori belajar ini tidak-lah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini membutuhkan berbagai sumber sarana yang dapat menunjang, seperti : lingkungan siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa. Berikut ini beberapa teori-teori pembelajaran yang akan kita pelajari :
1.    Koneksionisme
     Teori belajar koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949) berdasarkan yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike menggunakan hawan-hewan terutama, kucing untuk mengetahui fenomena-fenomena belajar.[7]
Teorinya dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming, hubungan antara Stimulus dan Respons.[8]
Menurut Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon. Stimulus  yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan. Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan). Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Dari definisi belajar tersebut menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari kegiatan belajar dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati. Meskipun aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai aliran koneksionisme (connectionism).[9]
Pada saat yang hampir sama dengan dilakukan sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing oleh Ivan, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing yang lapar dalam sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak, kucing itu harus mengetahui cara membuat palang di dalam kotak tersebut. Pertama-tama kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia mencakar atau menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengat menginjak pijakan yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan kekotak, dia melakukan aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada percobaan berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai dia akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.[10]
Keadaan bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen Puzzle box ini kemudian terkenal dengan instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hirdzman, 1978).[11]
Percobaan tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”, yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.
Adapun ciri-ciri belajar dengan Trial and Error Learning yaitu: adanya motif pendorong aktivitas, adanya berbagai respon terhadap situasi dan adanya aliminasi respon-respon yang gagal atau salah.[12]

2.    Pembiasan Klasik
     Teori pembiasaan klasik (classical conditioning) ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov (1849-1936) Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006: 115).
Berdasarkan eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu (Sanjaya, 2006: 116). Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus sebelum terjadinya refleks tersebut (Syah, 1999: 106).
Teori ini disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya (Djaali, 2007: 85).[13]

3.    Pendekatan Behavioral Dan Kognitif Sosial
                   Rumpun teori ini di sebut bihaviorisme karena sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat di amati dan di ukur. Teori-teori ini dalam rumpun ini bersifat molecular, karena memandang kehidupan individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Ada beberapa ciri dari rumpun teori ini yaitu: (a) mengutamakan unsure atau bagian –bagian kecil; (b) bersifat mekanistis; (c) menekankan peranan lingkungan; (d) mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya latihan. Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun teori behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons sebanyak-banyaknya. Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan melalui ulangan-ulangan. Dengan demikian teori ini memiliki kesamaan dalam cara mengajarnya dengan teori psikologi daya herbartisme.
                        Tokoh yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874-1949), dengan eksperimennya belajar pada bintang yang juga berlaku bagi manusia yang disebut thorndike dengan “trial and error”. Thorndike mengenbangkan teori belajar “connectionism” karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu : (1) low of readiness, belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan tersebut; (2) low of exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak latihan dan ulangan; dan (3) low of effect yaitu belajar akan bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Pendekatan Pemrosesan  Informasi.[14]
                              Pendekatan Kognitif Sosial Untuk Pembelajaran

Teori ini berkembang dari teori behavioral tetapi lebih mengarah ke aspek kognitif (Schunk, 2000). Teori kognitif sosial ( social cognitive theory) menyatakan bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor perilku, memainkan peran penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif bisa berupa ekspetasi murid untuk meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid terhadap perilaku orang tuanya.


4.    Pendekatan Konstruktivis Sosial
     Secara umum, pendekatan konstruktivis sosial menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu dibangun dan dikonstruksikan bersama (mutual). Pendekatan konstruktivis sosial ini sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif. Vygotsky (1896-1934) mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial dan kultural. Dia percaya bahwa perkembangan memori, perhatian, dan nalar melibatkan pembelajaran untuk menggunakan alat yang ada dalam masyarakat, seperti bahasa, sistem matematika, dan strategi memori. Teori Vygotsky menarik banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Dengan kata lain, di samping individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Pendekatan konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di kelas. Prinsip-prinsip pendekatan konstruktivis sosial adalah:
1.    Pengetahuan dibangun/dikonstruksikan bersama.
2.    Pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan situasi sosial tertentu (situated cognition).
Peran guru dalam pembelajaran yaitu harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid untuk belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan bersama. Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing ketimbang sebagai pengatur dan pembentuk pembelajaran anak. Berikut ini beberapa karakteristik kelas konstruktivis sosial, yaitu:
1.    Tujuan penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
2.    Guru memantau perspektif, pemikiran dan perasaan murid.
3.    Guru dan murid saling belajar dan mengajar.
4.    Interaksi sosial mendominasi kelas.
5.    Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi oleh kultur mereka.


Manfaat Pendekatan Konstruktivis Sosial
Para ahli psikologi dan pendidik semakin mengakui manfaat proses kerja sama para siswa dalam rangka mengkonstruksi makna bersama dalam kegiatan mengeksplorasi, menjelaskan, mendiskusikan dan mendebat topik-topik tertentu baik dalam kelompok kecil maupun melibatkan seluruh anggota kelas. Dengan bekerjasama, siswa pada dasarnya terlibat dalam pendistribusian kognisi (distributed cognition); mereka membagi tugas belajar ke banyak siswa dan dapat menarik basis pengetahuan dan gagasan yang beranekaragam.
Komunitas pembelajar secara khusus bermanfaat ketika siswa kita berasal dari berbagai latar belakang yang berbeda. Komunitas semacam ini menghargai kontribusi semua siswa, dengan memanfaatkan latar belakang individu, perspektif budaya dan kemampuan unik setiap orang untuk meningkatkan prestasi anggota kelas secara keseluruhan. Komunitas ini juga menyediakan konteks di dalamnya siswa dapat membentuk persahabatan lintas etnis, gender, status sosioekonomi, dan keahlian. Persahabatan semacam ini sangat penting artinya bagi perkembangan sosial siswa serta pemahaman multikultural mereka.
   Selain manfaat kognitif, diskusi kelompok mengenai materi pelajaran memiliki manfaat sosial dan motivasional. Mendiskusikan suatu topik dengan teman sekelas dapat membantu siswa mendapatkan keterampilan interpersonal yang lebih efektif; selain itu juga dapat mendatangkan efek yang membangkitkan semangat bagi siswa serta menanamkan hasrat murni untuk memahami suatu topik secara lebih baik.[15]

B.    Macam - Macam Perwujudan Perilaku Belajar

     Dalam hal memahami arti belajar dan esensi perubahan karena belajar, para ahli sependapat atau sekurang-kurangnya terdapat titik temu diantara mereka diantara mereka-mengenai hal-hal yang prinsipal. Akan tetapi, mengenai apa yang dipelajari siswa dan bagaimana perwujudannya, agaknya masih tetap merupakan teka-teki yang sering menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam diantara para ahli itu. Meskipun demikian, berikut ini akan penyusun turunkan pendapat sekelompok ahli yang relatif lebih lengkap mengenai perilaku belajar. Pemakai pendapat sekelompok ahli ini tidak berati mengecilkan pendapat kelompok ahli lainnya. Perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering tampak dalam perubahan-perubahan sebagai berikut:

1.      Kebiasaan
Setiap siwa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-kebiasaannya akan tampak berubah. Menurut Bhurgardt (1973), kebiasaan itu timbul karen proses penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang berulang-ulang. dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah, muncul satu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.

2.      Keterampilan
Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya moyotik, namun keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang yeliti dan kesadaran tinggi. Dengan demikian, siswa yang mengeluarkan gerakan motorik degan koordinasi dan kesadaranyang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.

3.      Pengamatan
Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsa
ngan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Berkat pengalaman belajar seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar objektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan timbulnya pengertian yang salah pula.

4.      Berpikir Asosiatif Dan Daya Ingat
Secara sederhana berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan sesuatu dengan lainya. Berfikir asosiatif itu merupakan proses pembentukan hubungan antara rangsangan dengan respons. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa kemampuan siswa untuk melakukan hubungan asosiatif yang benar amat dipengaruhi oleh tingkat pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar.

5.      Berpikir Rasional Dan Kritis
Berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan periaku belajar terutama yang bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yangberfikir rasional akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab pertanyaan “bagaimana dan mengapa”.

6.      Sikap
Dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental. Menurut Bruno (1987), sikap adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu.

7.      Inhibisi
Secara ringkas inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya suatu respons tertentu karena ada proses respons lain yang sedang berlangsung (Reber, 1988). Dalam hal belajar, yang dimaksud dengan inhibisi adalah kesangupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu, lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yag lebih baik ketika ia berinteraksi dengan lingkungannya.

8.      Apresiasi
Pada dasarnya, apresiasi berarti suastu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting atau nilai sesuatu (chaplin, 1982). Dalam penerapannya, apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda-baik yang abstrak maupun yang kongkrit- yang memiliki nilai luhur, Apresiasi adalah gejala ranah afektif yang pada umumnya ditujukan pada karya-karya seni budaya seperti: seni sastra, seni musik, seni lukis, drama, dan lain sebagainya.

9.      Tingkah Laku Efektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman perasaan seperti: takut, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan sebagainya. Tingjah laku seperi ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku belajar.




[1] Prof. Dr. Syaiful Sagala, M. Pd, Konsep Dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta, 2010, hal.1
[2] Ibid., hal 1-2
[3] Ibid., hal 4
[4] Atkinson, dkk., introduction to psychology, 11 th. ed. (Australia: Prentice Hall:1995)
[5] Gredler, Margaret Bell., learning and instruction theory into practice, (New York: McMilan Publishing Company, 1986)
[6] Dr. Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta, Bumi Aksara ,2006, Hal 6
[7] Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada.2005. Hal. 62
[8] Esti, Sri, Psikologi Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.2006. Hal. 126
[9] Muchit, Saekhan,. Pendidikan Kontektual, Semarang, Media Grup.2010. Hal. 51
[10] Santrock, John W,  Psikologi Pendidikan, Jogyakarta. 2008.Hal. 272
[11] Syah, Muhibbin, Psikologi Belajar, PT. RajaGrafindo Persada. 2007.Hal. 35
[13] http://weehaniefah.blogspot.com/2011/06/teori-belajar-dan-pembelajaran.html diakses pada sabtu, 05 april 2014, pukul 08:43 Wib.

[14] Ibid., hal 42
[15] http://redyjaya.blogspot.com/2013/09/analisis-pendekatan-konstruktivis.html diakses pada hari sabtu, 05 april 2014, pukul 08:47 Wib.

1 komentar: