Teori-Teori Dalam Belajar dan Macam-Macam Perwujudan Belajar
A. Teori-Teori Dalam Belajar
Pendidikan adalah segala
situasi hidup yang mempengaruhi pertumbuhan individu sebagai pengalaman belajar
yang berlangsung dalam segala lingkungan dan sepanjang hidup.[1]
Dalam arti sempit pendidikan adalah pengajaran yang diselenggarakan umumnya di
sekolah sebagai lembaga pendidikan formal. Sedangkan menurut para ahli
psikologi memaandang pendidikan adalah pengaruh orang dewasa terhadap anak yang
belum dewasa agar mempunyai kemampuan yang sempurna dan kesadaran penuh
terhadap hubungan-hubungan dan tugas-tugas sosialnya dalam masyarakat.[2]
Dengan demikian pendidikan itu adalah usaha sadar yang dilakukan oleh keluarga,
masyarakat dan pemerintah melalui kegiatan bimbingan, pengajaran, dan atau
latihan yang berlangsung di sekolah dan luar sekolah.
Teori adalah sebuah
konsep-konsep yang terpadu, menerangkan,
dan memprediksi. [3] Dari
beberapa tulisan yang membahas tentang perkembangan teori belajar seperti ( A tkinson, dkk. 1997;[4]
Gredler Margaret Bell, 1986)[5]
memaparkan tentang teori belajar yang secara umum dapat dikelompokan dalam 4
kelompok atau aliran meliputi :
a) Teori belajar behavioristik
b) Teori belajar kognitif
c) Teori belajar humanistik
d) Teori belajar sibernetik
Keempat teori di atas
mempunyai karakteristik yang berbeda, yakni aliran behavioristik menekankan
pada “hasil” dari pada proses belajar. Aliran kognitif menekankan pada “proses”
belajar. Aliran humanistik menekankan pada “isi” atau apa yang dipelajari.
Aliran sibernetik menekankan pada
“sistem informasi” yang dipelajari.[6]
Jadi teori
belajar adalah suatu teori yang di dalamnya terdapat tata cara pengaplikasian
kegiatan belajar mengajar antara guru dan siswa, perancangan metode
pembelajaran yang akan dilaksanakan di kelas maupun di luar kelas. Namun teori
belajar ini tidak-lah semudah yang dikira, dalam prosesnya teori belajar ini
membutuhkan berbagai sumber sarana yang dapat menunjang, seperti : lingkungan
siswa, kondisi psikologi siswa, perbedaan tingkat kecerdasan siswa. Berikut ini beberapa
teori-teori pembelajaran yang akan kita pelajari :
1. Koneksionisme
Teori belajar koneksionisme adalah teori yang
ditemukan dan dikembangkan oleh Edward Lee Thorndike (1874-1949) berdasarkan
yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thorndike menggunakan
hawan-hewan terutama, kucing untuk mengetahui fenomena-fenomena belajar.[7]
Teorinya
dikenal sebagai connectionism (pertautan, pertalian) karena dia
berpendapat bahwa belajar adalah suatu proses “stamping in” (diingat), forming,
hubungan antara Stimulus dan Respons.[8]
Menurut
Thorndike, belajar adalah proses interaksi antara stimulus dan respon.
Stimulus yaitu apa saja dapat merangsang terjadinya kegiatan belajar
seperti pikiran, perasaan atau hal-hal lain yang dapat diterapkan melalui alat
indera. Sedangkan respon yaitu reaksi yang dimunculkan peserta didik ketika
belajar, yang juga dapat berupa pikiran, perasaan atau gerakan/tindakan.
Stimulus dan respon merupakan upaya secara metodologis untuk mengaktifkan siswa
secara utuh dan menyeluruh baik pikiran, perasaan dan perilaku (perbuatan).
Salah satu indikadasi keberhasilan belajar terletak pada kualitas respon yang
dilakukan siswa terhadap stimulus yang diterima dari guru.
Dari
definisi belajar tersebut menurut Thorndike perubahan tingkah laku akibat dari
kegiatan belajar dapat berwujud kongkrit yaitu yang dapat diamati. Meskipun
aliran behaviorisme sangat mengutamakan pengukuran, namun ia tidak dapat
menjelaskan bagaimana cara mengukur tingkah laku yang tidak dapat diamati. Namun
demikian, teorinya telah banyak memberikan pemikiran dan inspirasi kepada
tokoh-tokoh lain yang datang kemudian. Teori Thorndike ini disebut juga sebagai
aliran koneksionisme (connectionism).[9]
Pada saat
yang hampir sama dengan dilakukan sebuah eksperimen pengkondisian klasik anjing
oleh Ivan, E.L Thorndike (1906) sedang mempelajari kucing yang lapar dalam
sebuah kotak dan meletakkan ikan diluar kotak. Untuk bisa keluar dari kotak,
kucing itu harus mengetahui cara membuat palang di dalam kotak tersebut. Pertama-tama
kucing itu melakukan beberapa respons yang tidak efektif. Dia mencakar atau
menggigit palang. Akhirnya, kucing itu secara tidak sengat menginjak pijakan
yang membuka palang pintu. Saat kucing dikembalikan kekotak, dia melakukan
aktivitas acak sampai dia menginjak pijakan itu sekali lagi. Pada percobaan
berikutnya, kucing itu semakin sedikit melakukan gerakan acak, sampai dia
akhirnya bisa langsung menginjak pijakan itu untuk membuka pintu.[10]
Keadaan
bagian dalam sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu
merupakan situasi stimulus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan
diri dan memperoleh makanan yang ada di muka pintu. Mula-mula kucing tersebut
mengeong, mencakar, melompat dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu
untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara
kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar
tersebut. Eksperimen Puzzle box ini kemudian terkenal dengan instrumental
conditioning. Artinya, tingkah laku yang dipelajari berfungsi sebagai
instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki
(Hirdzman, 1978).[11]
Percobaan
tersebut menghasilkan teori “trial and error” atau “selecting and conecting”,
yaitu bahwa belajar itu terjadi dengan cara mencoba-coba dan membuat salah.
Adapun
ciri-ciri belajar dengan Trial and Error Learning yaitu: adanya motif
pendorong aktivitas, adanya berbagai respon terhadap situasi dan adanya
aliminasi respon-respon yang gagal atau salah.[12]
2. Pembiasan Klasik
Teori pembiasaan klasik (classical conditioning)
ini berkembang berdasarkan hasil eksperimen yang dilakukan oleh Ivan Pavlov
(1849-1936) Pavlov dan Watson yang menjadi tokoh teori ini juga percaya bahwa
belajar pada hewan memiliki prinsip yang sama dengan manusia. Belajar atau
pembentukan perilaku perlu dibantu dengan kondisi tertentu (Sanjaya, 2006:
115).
Berdasarkan
eksperimen dengan menggunakan anjing, Pavlov menyimpulkan bahwa untuk membentuk
tingkah laku tertentu harus dilakukan secara berulang-ulang dengan melakukan
pengkondisian tertentu. Pengkondisian itu adalah dengan melakukan semacam
pancingan dengan sesuatu yang dapat menumbuhkan tingkah laku itu (Sanjaya,
2006: 116). Hal ini dikarenakan classical conditioning adalah
sebuah prosedur penciptaan refleks baru dengan cara mendatangkan stimulus
sebelum terjadinya refleks tersebut (Syah, 1999: 106).
Teori ini
disebut classical karena yang mengawali nama teori ini untuk
menghargai karya Ivan Pavlov yang paling pertama di bidang conditioning (upaya
pembiasaan) serta untuk membedakan dari teori conditioning lainnya
(Djaali, 2007: 85).[13]
3. Pendekatan Behavioral Dan
Kognitif Sosial
Rumpun teori ini di sebut bihaviorisme karena
sangat menekankan perilaku atau tingkah laku yang dapat di amati dan di ukur.
Teori-teori ini dalam rumpun ini bersifat molecular, karena memandang kehidupan
individu terdiri atas unsur-unsur seperti halnya molekul-molekul. Ada beberapa
ciri dari rumpun teori ini yaitu: (a) mengutamakan unsure atau bagian –bagian
kecil; (b) bersifat mekanistis; (c) menekankan peranan lingkungan; (d)
mementingkan pembentukan reaksi atau respon; dan (5) menekankan pentingnya
latihan. Koneksionisme merupakan teori yang paling awal dari rumpun teori
behaviorisme. Menurut teori ini tingkah laku manusia tidak lain dari suatu
hubungan antara perangsang-jawaban atau stimulus-respons sebanyak-banyaknya.
Siapa yang menguasai hubungan stimulus-respons sebanyak-banyaknya ialah orang
pandai atau berhasil dalam belajar. Pembentukan hubungan stimulus-respons dilakukan
melalui ulangan-ulangan. Dengan demikian teori ini memiliki kesamaan dalam cara
mengajarnya dengan teori psikologi daya herbartisme.
Tokoh
yang sangat terkenal mengembangkan teori ini adalah Thorndike (1874-1949),
dengan eksperimennya belajar pada bintang yang juga berlaku bagi manusia yang
disebut thorndike dengan “trial and error”. Thorndike mengenbangkan
teori belajar “connectionism” karena belajar merupakan proses
pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan respons. Thorndike mengemukakan
tiga prinsip atau hukum dalam belajar yaitu : (1) low of readiness,
belajar akan berhasil apabila individu memiliki kesiapan untuk melakukan perbuatan
tersebut; (2) low of exercise yaitu belajar akan berhasil apabila banyak
latihan dan ulangan; dan (3) low of effect yaitu belajar akan
bersemangat apabila mengetahui dan mendapatkan hasil yang baik. Pendekatan
Pemrosesan Informasi.[14]
Pendekatan Kognitif Sosial Untuk Pembelajaran
Teori ini
berkembang dari teori behavioral tetapi lebih mengarah ke aspek kognitif
(Schunk, 2000). Teori kognitif sosial ( social cognitive theory) menyatakan
bahwa faktor sosial dan kognitif dan juga faktor perilku, memainkan peran
penting dalam pembelajaran. Faktor kognitif bisa berupa ekspetasi murid untuk
meraih keberhasilan; faktor sosial mungkin mencakup pengamatan murid terhadap
perilaku orang tuanya.
4. Pendekatan Konstruktivis
Sosial
Secara umum, pendekatan konstruktivis sosial
menekankan pada konteks sosial dari pembelajaran dan bahwa pengetahuan itu
dibangun dan dikonstruksikan bersama (mutual). Pendekatan konstruktivis sosial
ini sangat dipengaruhi oleh teori perkembangan kognitif. Vygotsky (1896-1934)
mengatakan bahwa perkembangan anak tidak bisa dipisahkan dari kegiatan sosial
dan kultural. Dia percaya bahwa perkembangan memori, perhatian, dan nalar
melibatkan pembelajaran untuk menggunakan alat yang ada dalam masyarakat,
seperti bahasa, sistem matematika, dan strategi memori. Teori Vygotsky menarik
banyak perhatian karena teorinya mengandung pandangan bahwa pengetahuan itu
dipengaruhi situasi dan bersifat kolaboratif. Dengan kata lain, di samping
individu, kelompok di mana individu berada, sangat menentukan proses
pembentukan pengetahuan pada diri seseorang. Melalui komunikasi dengan
komunitasnya, pengetahuan seseorang dinyatakan kepada orang lain sehingga
pengetahuan itu mengalami verifikasi, dan penyempurnaan.
Pendekatan
konstruktivis sosial menggunakan sejumlah inovasi di dalam pembelajaran di
kelas. Prinsip-prinsip pendekatan konstruktivis sosial adalah:
1. Pengetahuan dibangun/dikonstruksikan bersama.
2. Pengetahuan dipengaruhi oleh konteks dan situasi sosial tertentu (situated
cognition).
Peran guru
dalam pembelajaran yaitu harus menciptakan banyak kesempatan bagi murid untuk
belajar dengan guru dan teman sebaya dalam mengkonstruksi pengetahuan bersama.
Jadi, guru berfungsi sebagai fasilitator dan pembimbing ketimbang sebagai
pengatur dan pembentuk pembelajaran anak. Berikut ini beberapa karakteristik
kelas konstruktivis sosial, yaitu:
1. Tujuan penting dari kelas ini adalah konstruksi makna kolaboratif.
2. Guru memantau perspektif, pemikiran dan perasaan murid.
3. Guru dan murid saling belajar dan mengajar.
4. Interaksi sosial mendominasi kelas.
5. Kurikulum dan isi fisik dari kelas mencerminkan minat murid dan dipengaruhi
oleh kultur mereka.
Manfaat
Pendekatan Konstruktivis Sosial
Para ahli
psikologi dan pendidik semakin mengakui manfaat proses kerja sama para siswa
dalam rangka mengkonstruksi makna bersama dalam kegiatan mengeksplorasi,
menjelaskan, mendiskusikan dan mendebat topik-topik tertentu baik dalam
kelompok kecil maupun melibatkan seluruh anggota kelas. Dengan bekerjasama,
siswa pada dasarnya terlibat dalam pendistribusian kognisi (distributed
cognition); mereka membagi tugas belajar ke banyak siswa dan dapat menarik
basis pengetahuan dan gagasan yang beranekaragam.
Komunitas
pembelajar secara khusus bermanfaat ketika siswa kita berasal dari berbagai
latar belakang yang berbeda. Komunitas semacam ini menghargai kontribusi semua
siswa, dengan memanfaatkan latar belakang individu, perspektif budaya dan
kemampuan unik setiap orang untuk meningkatkan prestasi anggota kelas secara
keseluruhan. Komunitas ini juga menyediakan konteks di dalamnya siswa dapat
membentuk persahabatan lintas etnis, gender, status sosioekonomi, dan keahlian.
Persahabatan semacam ini sangat penting artinya bagi perkembangan sosial siswa
serta pemahaman multikultural mereka.
Selain
manfaat kognitif, diskusi kelompok mengenai materi pelajaran memiliki manfaat
sosial dan motivasional. Mendiskusikan suatu topik dengan teman sekelas dapat
membantu siswa mendapatkan keterampilan interpersonal yang lebih efektif;
selain itu juga dapat mendatangkan efek yang membangkitkan semangat bagi siswa
serta menanamkan hasrat murni untuk memahami suatu topik secara lebih baik.[15]
B. Macam - Macam Perwujudan Perilaku
Belajar
Dalam
hal memahami arti belajar dan esensi perubahan karena belajar, para ahli
sependapat atau sekurang-kurangnya terdapat titik temu diantara mereka diantara
mereka-mengenai hal-hal yang prinsipal. Akan tetapi, mengenai apa yang
dipelajari siswa dan bagaimana perwujudannya, agaknya masih tetap merupakan
teka-teki yang sering menimbulkan silang pendapat yang cukup tajam diantara
para ahli itu. Meskipun demikian, berikut ini akan penyusun turunkan pendapat
sekelompok ahli yang relatif lebih lengkap mengenai perilaku belajar. Pemakai
pendapat sekelompok ahli ini tidak berati mengecilkan pendapat kelompok ahli
lainnya. Perwujudan perilaku belajar biasanya lebih sering tampak dalam
perubahan-perubahan sebagai berikut:
1.
Kebiasaan
Setiap siwa yang telah mengalami proses belajar, kebiasaan-kebiasaannya akan
tampak berubah. Menurut Bhurgardt (1973), kebiasaan itu timbul karen proses
penyusutan kecenderungan respons dengan menggunakan stimulasi yang
berulang-ulang. dalam proses belajar, pembiasaan juga meliputi pengurangan
perilaku yang tidak diperlukan. Karena proses penyusutan/pengurangan inilah,
muncul satu pola bertingkah laku baru yang relatif menetap dan otomatis.
2.
Keterampilan
Keterampilan adalah kegiatan yang berhubungan dengan urat-urat syaraf dan
otot-otot (neuromuscular) yang lazimnya tampak dalam kegiatan jasmaniah seperti
menulis, mengetik, olah raga, dan sebagainya. Meskipun sifatnya moyotik, namun
keterampilan itu memerlukan koordinasi gerak yang yeliti dan kesadaran tinggi.
Dengan demikian, siswa yang mengeluarkan gerakan motorik degan koordinasi dan
kesadaranyang rendah dapat dianggap kurang atau tidak terampil.
3.
Pengamatan
Pengamatan artinya proses menerima, menafsirkan, dan memberi arti rangsa
ngan yang masuk melalui indera-indera seperti mata dan telinga. Berkat
pengalaman belajar seorang siswa akan mampu mencapai pengamatan yang benar
objektif sebelum mencapai pengertian. Pengamatan yang salah akan mengakibatkan
timbulnya pengertian yang salah pula.
4.
Berpikir Asosiatif Dan Daya Ingat
Secara sederhana berfikir asosiatif adalah berfikir dengan cara mengasosiasikan
sesuatu dengan lainya. Berfikir asosiatif itu merupakan proses pembentukan
hubungan antara rangsangan dengan respons. Dalam hal ini perlu dicatat bahwa
kemampuan siswa untuk melakukan hubungan asosiatif yang benar amat dipengaruhi
oleh tingkat pengertian atau pengetahuan yang diperoleh dari hasil belajar.
5.
Berpikir Rasional Dan Kritis
Berfikir rasional dan kritis adalah perwujudan periaku belajar terutama yang
bertalian dengan pemecahan masalah. Pada umumnya siswa yangberfikir rasional
akan menggunakan prinsip-prinsip dan dasar-dasar pengertian dalam menjawab
pertanyaan “bagaimana dan mengapa”.
6.
Sikap
Dalam arti yang sempit sikap adalah pandangan atau kecenderungan mental.
Menurut Bruno (1987), sikap adalah kecenderungan yang relatif menetap untuk
bereaksi dengan cara baik atau buruk terhadap orang atau barang tertentu.
7.
Inhibisi
Secara ringkas inhibisi adalah upaya pengurangan atau pencegahan timbulnya
suatu respons tertentu karena ada proses respons lain yang sedang berlangsung
(Reber, 1988). Dalam hal belajar, yang dimaksud dengan inhibisi adalah
kesangupan siswa untuk mengurangi atau menghentikan tindakan yang tidak perlu,
lalu memilih atau melakukan tindakan lainnya yag lebih baik ketika ia
berinteraksi dengan lingkungannya.
8.
Apresiasi
Pada dasarnya, apresiasi berarti suastu pertimbangan (judgment) mengenai arti
penting atau nilai sesuatu (chaplin, 1982). Dalam penerapannya, apresiasi
sering diartikan sebagai penghargaan atau penilaian terhadap benda-benda-baik
yang abstrak maupun yang kongkrit- yang memiliki nilai luhur, Apresiasi adalah
gejala ranah afektif yang pada umumnya ditujukan pada karya-karya seni budaya
seperti: seni sastra, seni musik, seni lukis, drama, dan lain sebagainya.
9.
Tingkah Laku Efektif
Tingkah laku afektif adalah tingkah laku yang menyangkut keanekaragaman
perasaan seperti: takut, sedih, gembira, kecewa, senang, benci, was-was, dan
sebagainya. Tingjah laku seperi ini tidak terlepas dari pengaruh pengalaman
belajar. Oleh karenanya, ia juga dapat dianggap sebagai perwujudan perilaku
belajar.
[1] Prof.
Dr. Syaiful Sagala, M. Pd, Konsep Dan Makna Pembelajaran, Bandung, Alfabeta,
2010, hal.1
[2] Ibid.,
hal 1-2
[3] Ibid.,
hal 4
[4]
Atkinson, dkk., introduction to psychology, 11 th. ed. (Australia:
Prentice Hall:1995)
[5] Gredler,
Margaret Bell., learning and instruction theory into practice, (New
York: McMilan Publishing Company, 1986)
[6] Dr.
Hamzah B. Uno, M.Pd., Orientasi Baru Dalam Psikologi Pembelajaran, Jakarta,
Bumi Aksara ,2006, Hal 6
[7]
Tohirin, Psikologi Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Jakarta, PT.
RajaGrafindo Persada.2005. Hal. 62
[8] Esti, Sri, Psikologi
Pendidikan, Jakarta, PT. Gramedia Widiasarana Indonesia.2006. Hal. 126
[9] Muchit, Saekhan,.
Pendidikan Kontektual, Semarang, Media Grup.2010. Hal. 51
[10] Santrock, John W, Psikologi Pendidikan, Jogyakarta.
2008.Hal. 272
[11] Syah, Muhibbin, Psikologi
Belajar, PT. RajaGrafindo Persada. 2007.Hal. 35
[12] http://pendidikan.blogspot.com/2010/04/teori-Thorndike-dalam-belajar.html diakses pada selasa, 01 april 2014, 08.43
Wib.
[13]
http://weehaniefah.blogspot.com/2011/06/teori-belajar-dan-pembelajaran.html
diakses pada sabtu, 05 april 2014, pukul 08:43 Wib.
[14] Ibid.,
hal 42
[15]
http://redyjaya.blogspot.com/2013/09/analisis-pendekatan-konstruktivis.html
diakses pada hari sabtu, 05 april 2014, pukul 08:47 Wib.
trmksh artikelnya sangat bermanfaat
BalasHapus